Rabu, 08 Mei 2013

PENGAMBILALIHAN SEKITAR DAERAH BOGOR DARI PIHAK SEKUTU KEPADA PIHAK BELANDA (22 OKTOBER 1946)


Revolusi yang menyentuh hidup manusia antara lain adalah bidang sosial. Revolusi 1945 di Indonesia adalah di bidang social, politik, militer dan hukum. Revolusi tersebut adalah periode rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan dari ancaman pihak asing dan anteknya, dalam hal ini adalah Jepang yang masih memiliki kekuasaan sambil menunggu kehadiran Sekutu, serta Barat –dengan kedok sebagai anggota Sekutu– yang ingin memulihkan kekuasaan kolonialnya yang sempat terlepas akibat serbuan Jepang dalam Perang Dunia ke-2.
Orang cenderung menilai Revolusi 1945 adalah satu-satunya revolusi di Indonesia, ini terbukti jika orang umumnya menyebut revolusi Indonesia maka yang dimaksud adalah Revolusi 1945. Padahal Indonesia telah mengalami revolusi baik sebelum maupun sesudah 1945. Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau dan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa pada pra 1945 layak disebut revolusi, demikian pula kudeta tahun 1965 yang menjatuhkan rezim Soekarno dan reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto pada pasca 1945 juga layak dinilai demikian.
Revolusi 1945 mencakup empat periode. Periode pertama (17 Agustus 1945 – 28 September 1945), gerakan kemerdekaan Indonesia –lazim disebut Republik– terlibat konflik dengan Jepang yang telah menyerah kepada Sekutu namun diperintah untuk menjaga status quo hingga pasukan Sekutu tiba.
Periode kedua (29 September – 30 November 1946), Republik masih terlibat konflik dengan Jepang sekaligus dengan Sekutu yang terdiri dari Persemakmuran Inggris (Inggris, India, Gurkha dan Australia) serta Netherlands Indies Civil Administration yang terdiri dari Koninklijke Leger (pasukan dari orang Barat asli) dan Koninklijke Nederland Indische Leger (pasukan dari orang Barat, Indo dan pribumi) berikut para anteknya.
Periode ketiga (1 Desember 1946 – 27 Desember 1949), Republik terlibat konflik dengan NICA. Periode ini mencakup Agresi Militer ke-1 (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947) dan Agresi Militer ke-2 (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949).
Periode keempat (28 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), Republik terlibat konflik dengan KNIL dan para antek kolonial lainnya sekaligus memperluas dan memantapkan pengaruhnya ke seantero bekas Hindia Belanda ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada saat Inggris pertama kali mendaratkan pasukannya di Indonesia terutama di daerah Bogor, Bandung dan semarang antara lain pada tanggal 15, 18, dan 20 oktober 1946. Menurut Laksamana Petterson, komandan garis belakang skuadron tempur kelima Inggris, mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu dating untuk melindungi rayat dan untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang berfungsi kembali”. Katanya, hukum belanda harus diterapkan dan ditingkatkan oleh para pejabat oleh para pejabat pemerintah Belanda di Jawa yang hanya akan tunduk kepada perintah yang diberiakn oleh Laksaman Mountbatten. Pada hari yang sama, Letnan Jendral Sir Philip Christison, panglima sekutu untuk Hindia Belanda, mengumumkan bahwa pasukan-pasukan Jepang di Jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (Kahin, 180:1995).
Kedatangan pasukan-pasukan Serikat itu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Serikat/Inggris itu datang membawa orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dengan terang-terangan hendak menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda, sikap pihak Indonesia berubah menjadi minimal curiga, maksimal bermusuhan. Situasi keamanan dengan cepat merosot menjadi buruk sekali, sejak NICA mempersenjatai kembali orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain kemudian memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi-provokasi bersenjata. Agaknya Christison telah memperhitungkan bahwa usaha pasukan-pasukan Serikat tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Karenanya Christison berunding dengan pemerintah RI dan mengakui defacto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Dan sejak adanya pengakuan de facto terhadap pemerintah RI dari Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan Serikat ke wilayah RI diterima dengan terbuka oleh pejabat-pejabat RI, karena menghormati tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pasukan-pasukan Serikat. Pengakuan ini diperkuat dengan penegasan Christison, bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketatanegaraan Indonesia.
Namun kenyataannya adalah lain : di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Serikat lalu terjadi insiden-insiden bahkan pertempuran-pertempuaran dengan pihak RI. Hal itu disebabkan karena pasukan-pasukan Serikat/Inggris itu tidak menghormati kedaulatan Republik Indonesia, dan tidak menghargai pemimpin-pemimpinya, baik di pusat maupun di daerah. Seperti yang terjadi di kota Bogor ini terjadi beberapa kali pertempuran diantaranya adalah pertempuran kapten muslihat, kemudian di Jakarta, beberapa orang anggota Pimpinan Nasional kita diteror bahkan meningkat sampai kepada percobaan pembunuhan. Di Surabaya, Magelang, Ambarawa, Semarang, Medan pecah pertempuaran-pertempuran antara pasukan-pasukan Serikat dengan pemuda-pemuda Indonesia.
Sementara itu perlawanan rakyat terhadap pasukan Serikat meningkat sampai akhir tahun 1945. Pihak Serikat yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan dan ketertiban, terutama di Jawa Barat. Daerah itu dianggap sebagai tempat merajalelanya terorisme. Sudah barang tentu anggapan itu mendapat sambutan hangat dari Panglima Angkatan Perang Belanda Laksamana Helfrich. Ia memrintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Jenderal Christison melaksanakan tugas di Jawa Barat.
Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak tuduhan tersebut, dengan sekali lagi memperingatkan pasukan Serikat akan tugas-tugas mereka yang sesungguhnya dan bahwa mereka tidak berhak mencampuri persoalan politik. Persoalan politik adalah semata-mata urusan pihak Indonesia dan Belanda. Tugas yang dihadapi oleh pasukan Indonesia dan Serikat adalah sama yakni menegakkan keamanan dan ketertiban. Tidak amannya dan tidak tertibnya keadaan, disebabkan karena teror yang dilakukan oleh pihak gerombolan NICA. Dan perbuatan itulah yang ditentang oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan pihak Belanda ke Bogor seperti dalam arsip diatas merupakan ancaman lama yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh semua warga Bogor khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Setelah kedatangan Belanda ke daerah Bogor dan sekitarnya sangat mencekam dan masyarakat dihimbau untuk di tidak keluar rumah pada saat jam 8 malam sampai jam 6 pagi karena dikhawatirkan menjadi korban kesalahpahaman yang dilakukan oleh Belanda, karena saat itu Belanda menganggap dan mewaspadai adanya perlawanan dari masyarakat Bogor pada malam hari. Selebaran-selebaran mengenai pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda disampaikan oleh beberapa orang yang oleh masyarakat Bogor disebut sebagai intel. Para intel ini terdiri dari beberapa orang atau pekerja pemerintah yang masih setia dan menginginkan untuk mempertahankan kemerdekaan, orang-orang tersebut adalah orang-orang yang bekerja sebagai pengirim telegram, tukang pengantar surat, orang-orang yang sering berhubungan dengan para pedagang atau bias dikatakan orang yang sering bertransaksi di pasar, bahkan anak-anak sekolah pun dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang disebut intel tersebut untuk menyebarkan segala bentuk informasi ataupun propaganda bagi kelangsungan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Masyarakat Bogor tidak tinggal diam dengan kondisi saat itu, dengan bantuan dari beberapa intel yang menyebarkan beberapa informasi mengenai perkembangan Belanda di daerah Bogor dan sekitarnya menyebabkan bertambahnya semangat dikalangan TKR/TRI maupun masyarakat Bogor sendiri. Waktu itu, secara militer terbagi dua, yaitu masuk Divisi I Banten-Bogor dengan Kolonel Kiai Haji Syam’un sebagai panglimanya, dan Divisi III Priangan-Bogor dengan Kolonel Arudji Kartawinata/A.H. Nasution sebagai panglimanya. Dalam perkembangannya, wilayah tanggung jawab Divisi I hanya mencakup Keresidenen Banten saja, karena oleh KSU TKR dibentuk sementara Divisi XI di bawah pimpinan Kolonel Abdul Kadir yang bertanggung jawab atas daerah (kabupaten) Bogor. Di bawah divisi ini terbentuk Resimen 2 di bawah pimpinan Husein Sastranegara. Baik pembentuk divisi maupun resimen yang nota bene dibentuk lebih dahulu, bahkan juga sudah mempunyai nomor urut, dapat dikatakan berjalan demikian mudah, tanpa gejolak.
Adapun batalyon yang ada di Bogor waktu itu adalah: Batalyon I di bawah pimpinan Mayor Ibrahim Adjie yang bertanggung jawab atas daerah Depok, Bojong Gede dan sekitarnya. Batalyon II di bawah pimpinan Mayor Toha yang bertanggung jawab atas daerah Cijeruk sampai ke sekitar kota Bogor. Batalyon III di bawah pimpinan Mayor Haji Dasuki Bakri yang bertanggung jawab atas daerah Ciampea dan Leuwiliang. Batalyon IV di bawah pimpinan Mayor Abing Sarbini yang bertanggung jawan atas daerah Cileungsi, Citeureup sampai Cibarusah.
Di wilayah kabupaten Bogor sendiri, reorganisasi/strukturisasi tentara ini membuat komando militer menjadi semakin baik, dan koordinasi baik sesame TKR/TRI maupun dengan badan-badan perjuangan semakin baik pula. Hal ini antara lain tercermin dalam kerjasama menumpas gerakan Ki Narija-The Mamat di Leuwiliang dan Dramaga. Demikian pula dalam menghadapi kekuatan Inggris dan Belanda-NICA. Sebagai catatan, sejak bulan Januari 1946 Markas Resimen Bogor/Divisi II berada di Dramaga, karena waktu itu kota Bogor telah dikuasai oleh Inggris, walaupun pemerintahan sipilnya masih tetap berkedudukan di kota Bogor. Bahkan seperti diuraikan oleh Kawilarang, “di Bogor ganjil sekali”. Sewaktu TKR dengan tentara Sekutu main kucing-kucingan dan saling tembak, saling mencegat; sementara itu pemerintah setempat (Bogor) dan polisi mengadakan rapat dengan Inggris mengenai keamanan setempat, dan sebagian besar natulen hasil rapat itu sampai juga ke tangan TKR.
Bahkan menurut Kawilarang, pada suatu waktu Residen Bogor Barnas Wiratuningrat mengadakan makan malam bersama Walikota Odang dengan mengundang komandan brigade Inggris dan stafnya. Dari pihak TKR juga hadir Kolonel Abdul Kadir, Letkol Hidayat Sukarmadijaya, Kapten Yusuf Hardjadiparta dan Kawilarang sendiri. Semakin terkordinasinya hubungan pemerintah, TKR dan polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya semakin baik. Kondisi itu secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak menentu.
Bukti-bukti tersebut menjadi terasa mengganjal karena pada masa ini harusnya residen Bogor bersikap lunak dengan pergerakan yang dilakukan oleh sekutu maupun Belanda dengan tentara NICAnya yang membuat kondisi Bogor dan sekitarnya itu menjadi mencekam. Dalam arsip diatas pula dihimbau bahwa masyarakat Bogor hanya tetap tenang bukan untuk bersiap merencanakan perlawanan kepada tentara Belanda yang pada saat itu baru datang ke wilayah Bogor dan sekitarnya. Himbauan seperti itu seakan-akan pihak residen Bogor menerima dengan terbuka kedatangan Belanda dan akhirnya wilayah Bogor dan sekitarnya mengalami status quo.
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor.
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keesokan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Seluruh harta bendanya habis dijarah.
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang pada tahun 1946. Merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu.
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta.
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat seperti: di Depok , Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur, Cileung, Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan. Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk.
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR melawan lasykar. Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan ke negeri asalnya.
Peristiwa di atas berkaitan dengan suatu organisasi yang pro terhadap Belanda dan mereka menamankan diri sebagai partai rakyat pasundan, dan hal ini memebuat geram masyarakat Bogor pada saat itu. Salah satu organisasi yang sangat keras menolak terhadap beberapa tindakan yang dilakukan oleh partai rakyat pasundan adalah pusat organisasi rakyat Bogor.
Pada hari sabtu, tanggal 24 mei 1947, pusat organisasi rakyat Bogor atas nama seluruh organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya telah mengambil keputusan sebagai tercantum di dalam resolusi di bawah ini:
Mengingat :
1.      Penggembar-gemboran bahwa partai rakyat pasundan (P.R.P) bertindak atas nama rakyat pasundan
2.      Penyerobotan alat-alat pemerintahan republic Indonesia di Bogor
3.      Penyulikan-penyulikan oleh gerombolan-gerombolan orang yang bertindak atas nama partai rakyat Pasundan.
Menimbang bahwa :
1.      Kami rakyat Bogor tidak mengakui sama sekali adanya pemerintahan Negara Pasundan yang bekerja sabagai perisai Belanda.
2.      Pengambilan alat-alat pemerintahan Republik Indonesia adalah penyerobotan semata-mata.
3.      Kami masyarakat di daerah Bogor hanya mengakui pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang ada.
Memutuskan:
1.      Mendesak pengambil status quo Bogor sekurang-kurangnya seperti pada waktu pergantian tentara pendudukan Inggris oleh tentara Belanda.
2.      Mencurahkan kepercayaan penuh atas kebijaksanaan pemerintah-pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjelaskan soal Bogor ini secepat-cepatnya.
3.      Kami rakyat Bogor dengan sekeras-kerasnya menolak segala tindakan partai rakyat pasundan.
Bogor keluar dari status quo karena bantuan dari bupati atau patih baru yang bernama Ipik Gandamanah. Bupati ini disebut sebagai bupati pertama Bogor yang benar-benar mempertahankan dan membela wilayah dan keutuhan Bogor dari sekutu maupun pihak Belanda.
Ipik Gandamanah, atau orang Sunda memanggilnya dengan sebutan Bupati Ipik Gandamanah, lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada 30 nopember 1906. Meski taah kelahirannya di kabupaten Purwakarta, namun beliau menjalani masa kecil hingga dewasa di Banten. Ipik menempuh pendidikan mulai dari ELS, MULO, OSVIA A dan B setelah menyelesaikan studiya aktif di lingkunga kepamongprajaan. Perjalaan karirnya dimulai saat dia menjadi Cadidat Ambtenar (CA) di zaman Jepang serta di tempatkan di Bogor selama kurang lebih 2 tahun, kemudian diagkat mejadi mantri polisi Cikijing, serta ditahun 1938 Ipik diangkat menjadi sekretariat II Kabupaten Ciamis, kaudian pada tahun 1942 enjadi caat Cibereum Tasikmalaya.
Ipik Gandamanah diangkat menjadi patih Bogor pada tahun 1946, yang sebelumnya terjadi peristiwa Bandung lautan api yang menyebabkan keluarga Ipik Gandamanah beserta stafnya mengungsi ketempat yang lebih aman dan tetap melaksanakan tugas pemerintahannya berjalan sambil berpindah-pindah tempat dan pada tahun 1946 menjadi patih Bogor. Saat itu wilayah Bogor dala kondisi yang mencekam seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa tentara Belanda telah menyebar di Bogor teramasuk mata-matanya dan menyebarkan politik adu domba (de vide et impera). Dan seperti yang sudah dijelaskan di atas, Belanda membentuk Partai Rakyat Pasundan yang dimimpin oleh Mr.Kustomo yang berpihak kepada Belanda dan bagi para pejabat pemerintahan Republik Indonesia termasuk Presiden dan Bupati yang tidak mau bergabung dengan Belanda ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan militer dan sebagaian besar dibuang ke Jogyakarta.
Beberapa kali Ipik Gandamanah dibujuk untuk bergabung dengan Belanda, dengan berbagai macam cara termasuk iming-iming jabatan yang lebih tinggi, namun beliau menolak dan tetap membela pemerintahan republik Indonesia dan akhirnya beliau dimasukan ke penjara. Dan setelah beberapa lama keluarlah besluit dari presiden HTB Bogor tanggal 14 agustus 1947 nomor 305 yang memerintahkan Ipik Gandamanah dibuang kepengasingan di hutan dengan beberapa pejabatnya ke wilayah Jasinga.
Saat dalam pengasingan, Ipik Gandamanah menerima tugas dari pemerintah RI untuk menyusun pemerintahan Kabupaten Bogor darurat yang pusatnya di wilayah Jasinga dan beliau ditetapkan menjadi bupati Bogor, kemudain diangkat lagi oleh wakil gubernur jawa bara untuk merangkap menjadi bupati Lebak.
Setelah pembentukan pemerintah kabupaten Bogor darurat sesuai perintah pimpinan pemerintah rapublik Indonesia., dalam kondisi clash dua, pemerintah darurat kabupaten Bogor di Jasinga selalu mendapat teror dan diserang oleh tentara Belanda sehingga Ipik Gandamanah beserta keluarga dan jajaran pembantunya berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan tentara Belanda, mulai di cipanas kabupaten Lebak dan akhirnya ke desa Malasari kecamatan Leuwiliang (sekarang kecamatan Nanggung). Di desa Malasari inilah pelaksanaan tugas pemerintah kabupaten Bogor berjalan cukup lama, selama beberapa bulan sampai adanya genjatan senjata antara pasuka TNI/pejuang dengan pasukan Belanda. Setelah genjatan senjata, berdasarkan pada keputusan Gubernur Milite Jawa Barat, Ipik Gandamanah diperbantukan di KMD IV /DJ.B selaku kepala staff sipil Kepresidenan Bogor yang selanjutnya ditetapkan menjadi Presiden Bogor.
Perjalanan panjang Ipik Gandamanah dalam mengemban amanah, selain berkaitan dengan penyusunan pemerintah darurat Kabupaten Bogor. Pengabdian dan perjuangan beliau dalam mengemban amanah tidak berhenti, walaupun harus menghuni sel di penjara Paledang, karena tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Informasi dan pesan rahasia yang beliau sampaikan kepada para pejuang dan kaum republik di wilayah Bogor melalui kurirnya yaitu Hj.Nani Karmawan ditangkap Belanda dan diintrogasi dengan berbagai tekanan dan siksaan. Ipik Gandamanah  beserta keluarga yang tinggal di lokasi pemerintah darurat Kabupaten Bogor yang terakhir di kampung /desa Malasari Kecamatan Leuwiliang (Nanggung sekarang). Yang berada di sekitar kaki Gunung Halimun  melaksanakan tugas pemerintahan Kabupaten Bogor yang berjalan selama beberapa bulan, sampai terjadinya genjatan senjata antara pasukan tentara Republik Indonesia dengan tentara Belanda. Kehidupan beliau di Desa Malasari sangat membutuhkan bantuan dari penduduk Desa Malasari, tidak sedikit bantuan yang diberikan kepada Bapak Ipik Gandamanah baik materi maupun dukungan moral. Kedekatan dan keakraban beliau dengan penduduk sekitar Desa Malasari membuat masyarakat Desa Malasari tetap setia  berjuang dan mengamankan “pendopo“ Bupati Ipik Gandamanah sebagai tempat melaksanakan pemerintahan darurat Bogor.

1 komentar:

  1. Saya atas nama keluarga Rd. Ipik Gandamana Sumawinata, mengucapkan terimakasih buat penulis yang memposting cerita kepahlawanan Eyang saya, sukses.

    BalasHapus