Revolusi
yang menyentuh hidup manusia antara lain adalah bidang sosial. Revolusi 1945 di
Indonesia adalah di bidang social, politik, militer dan hukum. Revolusi
tersebut adalah periode rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang telah
diproklamirkan dari ancaman pihak asing dan anteknya, dalam hal ini adalah
Jepang yang masih memiliki kekuasaan sambil menunggu kehadiran Sekutu, serta
Barat –dengan kedok sebagai anggota Sekutu– yang ingin memulihkan kekuasaan
kolonialnya yang sempat terlepas akibat serbuan Jepang dalam Perang Dunia ke-2.
Orang
cenderung menilai Revolusi 1945 adalah satu-satunya revolusi di Indonesia, ini
terbukti jika orang umumnya menyebut revolusi Indonesia maka yang dimaksud
adalah Revolusi 1945. Padahal Indonesia telah mengalami revolusi baik sebelum
maupun sesudah 1945. Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau dan Perang
Diponegoro (1825-1830) di Jawa pada pra 1945 layak disebut revolusi, demikian
pula kudeta tahun 1965 yang menjatuhkan rezim Soekarno dan reformasi tahun 1998
yang menjatuhkan rezim Soeharto pada pasca 1945 juga layak dinilai demikian.
Revolusi
1945 mencakup empat periode. Periode pertama (17 Agustus 1945 – 28 September
1945), gerakan kemerdekaan Indonesia –lazim disebut Republik– terlibat konflik
dengan Jepang yang telah menyerah kepada Sekutu namun diperintah untuk menjaga
status quo hingga pasukan Sekutu tiba.
Periode
kedua (29 September – 30 November 1946), Republik masih terlibat konflik dengan
Jepang sekaligus dengan Sekutu yang terdiri dari Persemakmuran Inggris
(Inggris, India, Gurkha dan Australia) serta Netherlands Indies Civil
Administration yang terdiri dari Koninklijke Leger (pasukan dari orang Barat asli)
dan Koninklijke Nederland Indische Leger (pasukan dari orang Barat, Indo dan pribumi)
berikut para anteknya.
Periode
ketiga (1 Desember 1946 – 27 Desember 1949), Republik terlibat konflik dengan
NICA. Periode ini mencakup Agresi Militer ke-1 (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947)
dan Agresi Militer ke-2 (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949).
Periode
keempat (28 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), Republik terlibat konflik dengan
KNIL dan para antek kolonial lainnya sekaligus memperluas dan memantapkan
pengaruhnya ke seantero bekas Hindia Belanda ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada
saat Inggris pertama kali mendaratkan pasukannya di Indonesia terutama di
daerah Bogor, Bandung dan semarang antara lain pada tanggal 15, 18, dan 20
oktober 1946. Menurut Laksamana Petterson, komandan garis belakang skuadron
tempur kelima Inggris, mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu dating untuk
melindungi rayat dan untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban hingga
pemerintah Hindia Belanda yang berwenang berfungsi kembali”. Katanya, hukum
belanda harus diterapkan dan ditingkatkan oleh para pejabat oleh para pejabat
pemerintah Belanda di Jawa yang hanya akan tunduk kepada perintah yang
diberiakn oleh Laksaman Mountbatten. Pada hari yang sama, Letnan Jendral Sir
Philip Christison, panglima sekutu untuk Hindia Belanda, mengumumkan bahwa
pasukan-pasukan Jepang di Jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban (Kahin, 180:1995).
Kedatangan
pasukan-pasukan Serikat itu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia.
Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Serikat/Inggris itu datang membawa
orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dengan
terang-terangan hendak menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda, sikap pihak
Indonesia berubah menjadi minimal curiga, maksimal bermusuhan. Situasi keamanan
dengan cepat merosot menjadi buruk sekali, sejak NICA mempersenjatai kembali
orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang. Orang-orang NICA dan
KNIL di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain kemudian memancing kerusuhan dengan
cara mengadakan provokasi-provokasi bersenjata. Agaknya Christison telah
memperhitungkan bahwa usaha pasukan-pasukan Serikat tidak akan berhasil tanpa
bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Karenanya Christison berunding dengan
pemerintah RI dan mengakui defacto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober
1945. Dan sejak adanya pengakuan de facto terhadap pemerintah RI dari Panglima
AFNEI itu, masuknya pasukan Serikat ke wilayah RI diterima dengan terbuka oleh
pejabat-pejabat RI, karena menghormati tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
pasukan-pasukan Serikat. Pengakuan ini diperkuat dengan penegasan Christison,
bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketatanegaraan
Indonesia.
Namun
kenyataannya adalah lain : di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Serikat
lalu terjadi insiden-insiden bahkan pertempuran-pertempuaran dengan pihak RI.
Hal itu disebabkan karena pasukan-pasukan Serikat/Inggris itu tidak menghormati
kedaulatan Republik Indonesia, dan tidak menghargai pemimpin-pemimpinya, baik
di pusat maupun di daerah. Seperti yang terjadi di kota Bogor ini terjadi
beberapa kali pertempuran diantaranya adalah pertempuran kapten muslihat,
kemudian di Jakarta, beberapa orang anggota Pimpinan Nasional kita diteror
bahkan meningkat sampai kepada percobaan pembunuhan. Di Surabaya, Magelang,
Ambarawa, Semarang, Medan pecah pertempuaran-pertempuran antara pasukan-pasukan
Serikat dengan pemuda-pemuda Indonesia.
Sementara
itu perlawanan rakyat terhadap pasukan Serikat meningkat sampai akhir tahun
1945. Pihak Serikat yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu
menegakkan keamanan dan ketertiban, terutama di Jawa Barat. Daerah itu dianggap
sebagai tempat merajalelanya terorisme. Sudah barang tentu anggapan itu
mendapat sambutan hangat dari Panglima Angkatan Perang Belanda Laksamana
Helfrich. Ia memrintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Jenderal Christison
melaksanakan tugas di Jawa Barat.
Pemerintah
Indonesia dengan tegas menolak tuduhan tersebut, dengan sekali lagi
memperingatkan pasukan Serikat akan tugas-tugas mereka yang sesungguhnya dan
bahwa mereka tidak berhak mencampuri persoalan politik. Persoalan politik
adalah semata-mata urusan pihak Indonesia dan Belanda. Tugas yang dihadapi oleh
pasukan Indonesia dan Serikat adalah sama yakni menegakkan keamanan dan
ketertiban. Tidak amannya dan tidak tertibnya keadaan, disebabkan karena teror
yang dilakukan oleh pihak gerombolan NICA. Dan perbuatan itulah yang ditentang
oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan
pihak Belanda ke Bogor seperti dalam arsip diatas merupakan ancaman lama yang
sebenarnya tidak dikehendaki oleh semua warga Bogor khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Setelah kedatangan Belanda ke daerah Bogor dan
sekitarnya sangat mencekam dan masyarakat dihimbau untuk di tidak keluar rumah
pada saat jam 8 malam sampai jam 6 pagi karena dikhawatirkan menjadi korban
kesalahpahaman yang dilakukan oleh Belanda, karena saat itu Belanda menganggap
dan mewaspadai adanya perlawanan dari masyarakat Bogor pada malam hari.
Selebaran-selebaran mengenai pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada
Belanda disampaikan oleh beberapa orang yang oleh masyarakat Bogor disebut
sebagai intel. Para intel ini terdiri dari beberapa orang atau pekerja
pemerintah yang masih setia dan menginginkan untuk mempertahankan kemerdekaan,
orang-orang tersebut adalah orang-orang yang bekerja sebagai pengirim telegram,
tukang pengantar surat, orang-orang yang sering berhubungan dengan para
pedagang atau bias dikatakan orang yang sering bertransaksi di pasar, bahkan
anak-anak sekolah pun dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang disebut intel tersebut
untuk menyebarkan segala bentuk informasi ataupun propaganda bagi kelangsungan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Masyarakat
Bogor tidak tinggal diam dengan kondisi saat itu, dengan bantuan dari beberapa
intel yang menyebarkan beberapa informasi mengenai perkembangan Belanda di daerah
Bogor dan sekitarnya menyebabkan bertambahnya semangat dikalangan TKR/TRI
maupun masyarakat Bogor sendiri. Waktu itu, secara militer terbagi dua, yaitu
masuk Divisi I Banten-Bogor dengan Kolonel Kiai Haji Syam’un sebagai
panglimanya, dan Divisi III Priangan-Bogor dengan Kolonel Arudji Kartawinata/A.H.
Nasution sebagai panglimanya. Dalam perkembangannya, wilayah tanggung jawab
Divisi I hanya mencakup Keresidenen Banten saja, karena oleh KSU TKR dibentuk
sementara Divisi XI di bawah pimpinan Kolonel Abdul Kadir yang bertanggung
jawab atas daerah (kabupaten) Bogor. Di bawah divisi ini terbentuk Resimen 2 di bawah pimpinan Husein
Sastranegara. Baik pembentuk divisi maupun resimen yang nota bene dibentuk lebih dahulu, bahkan juga sudah mempunyai nomor
urut, dapat dikatakan berjalan demikian mudah, tanpa gejolak.
Adapun batalyon yang ada di Bogor waktu itu adalah:
Batalyon I di bawah pimpinan Mayor Ibrahim Adjie yang bertanggung jawab atas
daerah Depok, Bojong Gede dan sekitarnya. Batalyon II di bawah pimpinan Mayor
Toha yang bertanggung jawab atas daerah Cijeruk sampai ke sekitar kota Bogor.
Batalyon III di bawah pimpinan Mayor Haji Dasuki Bakri yang bertanggung jawab
atas daerah Ciampea dan Leuwiliang. Batalyon IV di bawah pimpinan Mayor Abing
Sarbini yang bertanggung jawan atas daerah Cileungsi, Citeureup sampai
Cibarusah.
Di wilayah kabupaten Bogor sendiri,
reorganisasi/strukturisasi tentara ini membuat komando militer menjadi semakin
baik, dan koordinasi baik sesame TKR/TRI maupun dengan badan-badan perjuangan
semakin baik pula. Hal ini antara lain tercermin dalam kerjasama menumpas
gerakan Ki Narija-The Mamat di Leuwiliang dan Dramaga. Demikian pula dalam
menghadapi kekuatan Inggris dan Belanda-NICA. Sebagai catatan, sejak bulan
Januari 1946 Markas Resimen Bogor/Divisi II berada di Dramaga, karena waktu itu
kota Bogor telah dikuasai oleh Inggris, walaupun pemerintahan sipilnya masih
tetap berkedudukan di kota Bogor. Bahkan seperti diuraikan oleh Kawilarang, “di
Bogor ganjil sekali”. Sewaktu TKR dengan tentara Sekutu main kucing-kucingan
dan saling tembak, saling mencegat; sementara itu pemerintah setempat (Bogor)
dan polisi mengadakan rapat dengan Inggris mengenai keamanan setempat, dan
sebagian besar natulen hasil rapat itu sampai juga ke tangan TKR.
Bahkan menurut Kawilarang, pada suatu waktu Residen Bogor
Barnas Wiratuningrat mengadakan makan malam bersama Walikota Odang dengan
mengundang komandan brigade Inggris dan stafnya. Dari pihak TKR juga hadir
Kolonel Abdul Kadir, Letkol Hidayat Sukarmadijaya, Kapten Yusuf Hardjadiparta
dan Kawilarang sendiri. Semakin terkordinasinya hubungan pemerintah, TKR dan
polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya semakin baik. Kondisi itu
secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak menentu.
Bukti-bukti tersebut menjadi terasa mengganjal karena
pada masa ini harusnya residen Bogor bersikap lunak dengan pergerakan yang
dilakukan oleh sekutu maupun Belanda dengan tentara NICAnya yang membuat
kondisi Bogor dan sekitarnya itu menjadi mencekam. Dalam arsip diatas pula
dihimbau bahwa masyarakat Bogor hanya tetap tenang bukan untuk bersiap
merencanakan perlawanan kepada tentara Belanda yang pada saat itu baru datang
ke wilayah Bogor dan sekitarnya. Himbauan seperti itu seakan-akan pihak residen
Bogor menerima dengan terbuka kedatangan Belanda dan akhirnya wilayah Bogor dan
sekitarnya mengalami status quo.
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke
Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen
Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur
pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan
mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen
Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun
keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok
yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan
Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa
dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi
kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok
tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka
aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan
kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang
warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan
Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap
dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu,
baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam
dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di
tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor.
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada
pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala
juga menimpa orang-orang republikein. Tidak
sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk
kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai
Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya
bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya
masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan
berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman.
Namun keesokan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah
kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang
berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya.
Seluruh harta bendanya habis dijarah.
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka
aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang pada tahun 1946. Merupakan
aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di
tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung
Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan
Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua
pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki
Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur
setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje
Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena
melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat
pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang
perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris
mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan
di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera
menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu.
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari
Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III
pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata
Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang
Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang
pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di
Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan
gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar.
Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten,
dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta.
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti
itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu
(yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti
tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak
diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi
antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak
berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau
BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat
seperti: di Depok , Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur, Cileung, Leuwi Malang,
Ciburial, dan Cikemasan. Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan
sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda
melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk.
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR
dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR
melawan lasykar. Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang
merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang,
yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat
ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor
memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta
tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan
ke negeri asalnya.
Peristiwa di atas berkaitan dengan suatu organisasi
yang pro terhadap Belanda dan mereka menamankan diri sebagai partai rakyat
pasundan, dan hal ini memebuat geram masyarakat Bogor pada saat itu. Salah satu
organisasi yang sangat keras menolak terhadap beberapa tindakan yang dilakukan
oleh partai rakyat pasundan adalah pusat organisasi rakyat Bogor.
Pada hari sabtu, tanggal 24 mei 1947, pusat organisasi
rakyat Bogor atas nama seluruh organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya
telah mengambil keputusan sebagai tercantum di dalam resolusi di bawah ini:
Mengingat :
1.
Penggembar-gemboran bahwa partai rakyat pasundan
(P.R.P) bertindak atas nama rakyat pasundan
2.
Penyerobotan alat-alat pemerintahan republic Indonesia
di Bogor
3.
Penyulikan-penyulikan oleh gerombolan-gerombolan orang
yang bertindak atas nama partai rakyat Pasundan.
Menimbang
bahwa :
1.
Kami rakyat Bogor tidak mengakui sama sekali adanya
pemerintahan Negara Pasundan yang bekerja sabagai perisai Belanda.
2.
Pengambilan alat-alat pemerintahan Republik Indonesia
adalah penyerobotan semata-mata.
3.
Kami masyarakat di daerah Bogor hanya mengakui
pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang ada.
Memutuskan:
1.
Mendesak pengambil status quo Bogor sekurang-kurangnya
seperti pada waktu pergantian tentara pendudukan Inggris oleh tentara Belanda.
2.
Mencurahkan kepercayaan penuh atas kebijaksanaan
pemerintah-pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjelaskan soal
Bogor ini secepat-cepatnya.
3.
Kami rakyat Bogor dengan sekeras-kerasnya menolak
segala tindakan partai rakyat pasundan.
Bogor keluar dari status quo karena bantuan dari bupati
atau patih baru yang bernama Ipik Gandamanah. Bupati ini disebut sebagai bupati
pertama Bogor yang benar-benar mempertahankan dan membela wilayah dan keutuhan
Bogor dari sekutu maupun pihak Belanda.
Ipik Gandamanah, atau orang Sunda memanggilnya dengan
sebutan Bupati Ipik Gandamanah, lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada 30
nopember 1906. Meski taah kelahirannya di kabupaten Purwakarta, namun beliau
menjalani masa kecil hingga dewasa di Banten. Ipik menempuh pendidikan mulai
dari ELS, MULO, OSVIA A dan B setelah menyelesaikan studiya aktif di lingkunga
kepamongprajaan. Perjalaan karirnya dimulai saat dia menjadi Cadidat Ambtenar
(CA) di zaman Jepang serta di tempatkan di Bogor selama kurang lebih 2 tahun,
kemudian diagkat mejadi mantri polisi Cikijing, serta ditahun 1938 Ipik
diangkat menjadi sekretariat II Kabupaten Ciamis, kaudian pada tahun 1942
enjadi caat Cibereum Tasikmalaya.
Ipik Gandamanah diangkat menjadi patih Bogor pada tahun
1946, yang sebelumnya terjadi peristiwa Bandung lautan api yang menyebabkan
keluarga Ipik Gandamanah beserta stafnya mengungsi ketempat yang lebih aman dan
tetap melaksanakan tugas pemerintahannya berjalan sambil berpindah-pindah
tempat dan pada tahun 1946 menjadi patih Bogor. Saat itu wilayah Bogor dala
kondisi yang mencekam seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa tentara
Belanda telah menyebar di Bogor teramasuk mata-matanya dan menyebarkan politik
adu domba (de vide et impera). Dan seperti yang sudah dijelaskan di atas,
Belanda membentuk Partai Rakyat Pasundan yang dimimpin oleh Mr.Kustomo yang
berpihak kepada Belanda dan bagi para pejabat pemerintahan Republik Indonesia
termasuk Presiden dan Bupati yang tidak mau bergabung dengan Belanda ditangkap
dan dijebloskan ke dalam tahanan militer dan sebagaian besar dibuang ke
Jogyakarta.
Beberapa kali Ipik Gandamanah dibujuk untuk bergabung
dengan Belanda, dengan berbagai macam cara termasuk iming-iming jabatan yang
lebih tinggi, namun beliau menolak dan tetap membela pemerintahan republik
Indonesia dan akhirnya beliau dimasukan ke penjara. Dan setelah beberapa lama
keluarlah besluit dari presiden HTB Bogor tanggal 14 agustus 1947 nomor 305
yang memerintahkan Ipik Gandamanah dibuang kepengasingan di hutan dengan
beberapa pejabatnya ke wilayah Jasinga.
Saat dalam pengasingan, Ipik Gandamanah menerima tugas
dari pemerintah RI untuk menyusun pemerintahan Kabupaten Bogor darurat yang
pusatnya di wilayah Jasinga dan beliau ditetapkan menjadi bupati Bogor,
kemudain diangkat lagi oleh wakil gubernur jawa bara untuk merangkap menjadi
bupati Lebak.
Setelah pembentukan pemerintah kabupaten Bogor darurat
sesuai perintah pimpinan pemerintah rapublik Indonesia., dalam kondisi clash
dua, pemerintah darurat kabupaten Bogor di Jasinga selalu mendapat teror dan
diserang oleh tentara Belanda sehingga Ipik Gandamanah beserta keluarga dan
jajaran pembantunya berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan tentara
Belanda, mulai di cipanas kabupaten Lebak dan akhirnya ke desa Malasari
kecamatan Leuwiliang (sekarang kecamatan Nanggung). Di desa Malasari inilah
pelaksanaan tugas pemerintah kabupaten Bogor berjalan cukup lama, selama
beberapa bulan sampai adanya genjatan senjata antara pasuka TNI/pejuang dengan
pasukan Belanda. Setelah genjatan senjata, berdasarkan pada keputusan Gubernur
Milite Jawa Barat, Ipik Gandamanah diperbantukan di KMD IV /DJ.B selaku kepala
staff sipil Kepresidenan Bogor yang selanjutnya ditetapkan menjadi Presiden
Bogor.
Perjalanan panjang Ipik Gandamanah dalam mengemban
amanah, selain berkaitan dengan penyusunan pemerintah darurat Kabupaten Bogor.
Pengabdian dan perjuangan beliau dalam mengemban amanah tidak berhenti,
walaupun harus menghuni sel di penjara Paledang, karena tidak mau bekerjasama
dengan Belanda. Informasi dan pesan rahasia yang beliau sampaikan kepada para
pejuang dan kaum republik di wilayah Bogor melalui kurirnya yaitu Hj.Nani
Karmawan ditangkap Belanda dan diintrogasi dengan berbagai tekanan dan siksaan.
Ipik Gandamanah beserta keluarga yang
tinggal di lokasi pemerintah darurat Kabupaten Bogor yang terakhir di kampung
/desa Malasari Kecamatan Leuwiliang (Nanggung sekarang). Yang berada di sekitar
kaki Gunung Halimun melaksanakan tugas
pemerintahan Kabupaten Bogor yang berjalan selama beberapa bulan, sampai
terjadinya genjatan senjata antara pasukan tentara Republik Indonesia dengan
tentara Belanda. Kehidupan beliau di Desa Malasari sangat membutuhkan bantuan
dari penduduk Desa Malasari, tidak sedikit bantuan yang diberikan kepada Bapak
Ipik Gandamanah baik materi maupun dukungan moral. Kedekatan dan keakraban
beliau dengan penduduk sekitar Desa Malasari membuat masyarakat Desa Malasari
tetap setia berjuang dan mengamankan
“pendopo“ Bupati Ipik Gandamanah sebagai tempat melaksanakan pemerintahan
darurat Bogor.
Saya atas nama keluarga Rd. Ipik Gandamana Sumawinata, mengucapkan terimakasih buat penulis yang memposting cerita kepahlawanan Eyang saya, sukses.
BalasHapus