Rabu, 29 Mei 2013

mencari jejak Ipik Gandamanah

ini cerita ku saat tadi pagi berencana dengan temanku untuk pergi ke salah satu tempat yang menjadi saksi sejarah pada zaman revolusi fisik di daerah bogor, tepatnya di desa malasari kecamatan nanggung, yang disana ada bangunan yang masyarakat sekitar disebut dengan rumah sejarah. tadinya aku bingung rumah sejarah itu apa?? ternyata rumah sejarah itu adalah pendopo atau bisa dikatakan rumah yang menjadi rumah tempat tinggal dari bapak Ipik Gandamanah yang merupakan seorang Bupati pertama kabupaten bogor.
nih aku ceritain ya perjalanan tadi, pagi-pagi sekitar jam 9.00 aku berangkat dari rumah yang memang masih berada di kabupaten bogor. berangkat mengendarai motor yang setia selama 8 taun nemenin aku, si merah namanya. aku berangkat ke rumah sejarah tersebut tidak sendiri tapi bedua bersama teman yang mempunyai ketertarikan yang sama dengan rumah sejarah tersebut, kami betemu di kecamatan nanggung, aku kira dari sana sudah dekat dengan lokasi yang kami tuju eh ternyata masih sangat jauuh, dengan jalan yang masih banyak yang berlubang dan naik turun gunung dan melewati hutan-hutan bisa, tapi saya berpikir pantas saja disana dijadikan tempat persembunyian ternyata memang sanagt terpencil tempatnya, bisa kalian bayangkan. ada satu turunan yang sangat panjang, aku ragu si merah masih kuat pa tidak untuk naik dan menempuh tanjakan yang setelah saya tanyakan ke warga sana kurang lebih sepanjang 1 KM itu???.
tapi tidak jauh dari turunan itu ternyata sampailah kita di ruamh sejarah tersebut. pas kita sampai tenyata rumah tersebut kosong dengan pintu yang terbuka begitu saja. saya berpikir dalam hati, ko situs bersejarah yang penting seperti ini bisa terbengkalai?? tapi tak lama kemudian seorang ibu yang kira-kira berumur 45 tahunan datang menghampiri kami berdua. tapi ternyata ibu tersebut tidak mengetahui tentang sejarah bapak ipik di pendopo tersebut, beliau hanya menyebutkan sebuah nama yaitu bapak H. Sastra yang rumahnya tidak jauh dengan rumah sejarah tersebut.
kami akhirnya pergi ke rumah bapak H. Sastra tersebut, kami bertemu dengan sosok kakek yang masih telihat segar akan tetapi pas saya tanya ternyata umurnya sudah mencapai 80 tahun, dan beliau adalah saksi sejarah waktu bapak Ipik gandamanah mendiami rumah sejarah tersebut. sepertinya ini menjadi angin segara bagi rencana skripsiku yang insyaallah akan mengkaji tentang peran ipik gndamanah ini.
sudah sekitar lebih dari 40 menit saya dan temen saya bertanya semua tentang ipik gandamanah sampai disela-sela obrolan tersebut beliau menceritakan pula pengalaman umrohnya yang kebetulan baru kemarin sampai di rumah, dan suguhannya pun kita dikasih air zam-zam, kebetulan sekali. satu hal yang penting yang saya dapat dari obrolan dengan bapak H. Sastra adalah susahnya mempertahankan kemerdekaan sampai harus masuk keluar hutan dan naik turun gunung untuk berlari dari kejaran belanda, dan saya juga bersyukur lewat beliau pula saya mendapat akses ke keluarganya bapak Ipik Gandamanah yaitu Ibu Uce, dan pengalaman ini akan saya ceritakan nanti.
satu hal yang tidak saya niatkan, disana pas waktunya makan siang dan kami pun disuguhi makanan yang memang sebenarnya perut saya pun sudah lapar. setelah makan adzan dzuhur pun berkumandang, saya solat di sebuah masjid yang cukup besar disana, setelah solat dan kembali lagi ke rumah bapak H. Sastra dan tak lama kami berpamitan pulang dengan menyelipkan sebuah amplop sebagai tanda terimakasih dari kami yang sudah diberi info banyak mengenai bapak Ipik Gandamanah.
perjalanan pulangpun kami harus melewati tanjakan sepanjang 1 KM, dalam hati berkata kuat apa tidak motor yang sudah beusia 8 tahun ini merangkak naik membawa dua orang sekaligus, tapi alhamdulillah si merah kuat. dan perjalanan pulang kami pun hanya menempuh waktu sekitar 1 jam 30 menit dan teman saya sudah turun di kecamatan nanggung.
sekian.





ini beberapa foto perjalanan yang saya lakuakan untuk mencari jejak Ipik Gandamanah

(gapura desa Malasari, kecamatan nanggung yang sudah nampak tidak terurus)

(ini saya (penulis) yang dibelakangnya ada rumah sejarah atau pendopo Ipik Gandamanah)

(ini merupakan foto bapak Ipik Gandamanah yang berada di ruang tamu rumah sejarah)

(ini merupakan foto bapak ining, beliau sesungguhnya dalah yang memiliki rumah sejarah sebelumnya dan mempersilahkan bapak Iik Tinggal di rumahnya agar belanda tidak menemukan beliau) 


(ini adalah bapak H. Sastra, beliau sudah berumur 80 tahun tapi masih segar dan daya ingatnya juga kuat. bapak H. Sastra ini juga tidak lain adalah anak dari bapak Ining yang mempunyai rumah sejarah tersebut)

Rabu, 08 Mei 2013

DOMINASI GEREJA TERHADAP PENDIDIKAN EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN (ABAD IV-XI)


     PENDIDIKAN GEREJA PADA ABAD PERTENGAHAN DI EROPA
Ada beberapa alasan yang mendasari pihak gereja menyelenggarakan suatu lembaga pendidikan, antara lain:
a.       Karena para anggota jemaat-jemaat pada zaman itu kebanyakan tuna aksara dan para pemimpin yang terdidik entah imam atau awam kurang sekali jumlahnya, gereja mengajar melalui penggunaan lambang-lambang. Demikianlah telah kita baca tentang lambang-lambang berupa Sakramen Baptisan dan Misa khususnya, drama agamawi, seni lukis/patung, buku naskah yang berhiasan, dan seni bangunan. Semuanya itu cenderung mendobrak hati indrawi warga jemaat ketimbang mendorong perkembangan pengetahuan dan pengertian mereka.
b.      Membangun atas keadaan tersebut isu pedagogis abadi mencakup ketegangan kreatif antara pemupukan perasaan misteri agamawi dan perkembangan bagian kognitif dalam diri para warga persekutuan Kristen. Ketegangan ini sangat peka bagi persekutuan Protestan Indonesia yang berasal dari suku-suku yang kaya dengan simbolisme agamawi. Di bawah pengaruh teologi Protestan yang mengutamakan pentingnya memperoleh pengetahuan serta memahami isinya, peranan simbolisme cenderung dikesampingkan. Namun, di dalam kehidupan iman mesti ada tempat bagi keindahan.
Pada Abad Pertengahan gereja memgembangkan sejumlah wadah pedagogis, tempat pelaksanaan pendidikan agama Kristen : jemaat itu sendiri, khusunya melalui kebaktian dan sistem sakramental, sekolah katedral, universitas, kesatriaan dan wadah pedagogis yang berlangsung dibawah naungan biara. Karena jaringan perhubungan terbatas sekali pada zaman itu, wadah-wadah pendidikan agama Kristen berasal dari berbagai titik geografis dan gerejawi dan bukan dari pusat tertentu, misalnya kepausan. Sudah barang tentu, mutu pendidikan yang dihasilkan dengan cara yang demikian tidak sama tingginya.
Keterlibatan kita dengan pengalaman Gereja Pertengahan mungkin membuka mata terhadaa sumbangan para pemikir sebagaimana mereka ini diwakili oleh enam orang saja. Dengan Karel Agung kita diperkenalkan dengan seorang awam berkuasa yang haus akan pengetahuan menjadi seorang pelajar teladan sebelum dia menyalurkan dana, sarana dana , sarana dan gereja demi kepentingan perkembangan para warga Kristen yang terdidik.
Raja Alfred dari Inggris memahami pentingnya sumber tertulis dalam bahasa daerah sebagai dasar bagi pendidikan. Dia tidak hanya memanfaatkan dana pembendaharaan Negara demi rencana darurat menerjemahkan buku-buku latin kedalam bahasa Inggris Kuno , dia sendiri berbuat demikian pula.
Rabanus Maurus dari Jerman mengajukan pertanyaan pokok dibidang pendidikan agama Kristen berupa pendidikan teologi. Apakah sudah cukup dalam pendidikan seorang calon pendeta kalau ia dilatih menjadi “ seorang tukang liturgi dan sakramen saja”, atau sebaliknya pendidikannya perlu mencakup vak-vak bukan teologis-teologis yang merupakan lingkungan luas tempat tugas berteologi berlangsung sebelum mempelajari vak vak teologis? Abelardus mendidik kita tentang kepentingan mengajukan pertanyaan sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Dalam pengalamannya, belum ada jawaban mutlak sebagaimana nampak perbedaan pendapat di antara bapa-bapa gereja yang termulia.
Thomas Acquino ingin menolong para peneliti memperoleh jawaban yang tidak berdasarkan pendapat tokoh-tokoh berkuasa melainkan sebagai hasil usaha menjernihkan pemikiran. Sementara itu diperlihatkannya metode deduktif yang nampak dalam gaya mengajarnya. Bukan hanya itu saja. Dia menghargai juga peranan pernyataan dalam rangka mencari kebenaran teologis.
Gerson mengungkapkan bahwa, seorang pemimpin gereja terkemuka yang menjalankan keyakinannya bahwa tidak ada jabatan gerejawi yang lebih tinggi daripada mendidik anak-anak dalam iman Kristen. Berbeda dengan pendapat banyak rekan sekerjanya, pelayanan itu memperkaya martabat jabatan pelayanan Firman dan tidak meremehkannya.
Walaupun para pendidik besar merasa diri berhutang pada prestasi dan pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh gereja sepanjang abad, namun mereka tak terbelenggu oleh warisan itu. Mereka rela memprakarsai pendekatan yang berbeda yang mungkin akan turut memperkaya iman banyak warga seiman.
Pikiran ini, terimplementasi melalui teori yang dikeluarkan oleh Thomas Aquinas (1274 masehi) seorang ahli falfasah yakni "negara wajib tunduk kepada kehendak gereja". Thomas dapat disebut bayangan Aristoteles dalam hal cita-citanya. Ia mendasarkan ajarannya kepada ajaran Aristoteles, yang ketika itu datang kembali memepengaruhi dunia Eropa-barat melalui orang-orang Arab dengan sadurannya ke dalam bahasa arab oleh Averroes (Ibnu Rusyid), seorang ahli filsafat bangsa arab dan mahaguru di cordova dan Granada.
Thomas memeperterjemahkan karangan-karangan Aristoteles yang asli dengan diberi dasar nasrani. Ia merupakan tokoh terpenting dari aliran scholastic, yang menguasai abad ke-13 dan yang membawa kebudayaan nasrani kepuncak perkembangan. Aliran scholastic, artinya ajaran sekolah, membuktikan dengan dasar-dasar filsafah, bahwa tidak ada pertentangan antara kepercayaan dan akal.
Gerejalah yang kini menguasai pendidikan dengan tujuan mendapat kebahagiaan di alam baka. Kehidupan duniawi hanyalah sebagai landasan bagi hidup di alambaka. Apabila di masa yunani (lebih-lebih di Sparta) dan romawi orang tunduk kepada Negara maka kini tunduk pada gereja.
Kemudian pemikir lain yang mempengaruhi gereja dalam pendominasiaan pendidikan pada abad pertengahan adalah St.Augustinus yang jauh sebelum Thomas Aquino yaitu pada tahun 430 masehi. Agustinus, seorang ahli didik nasrani, dilahirkan di Tagaste, Afrika tahun 354. Ayahnya yaitu patricius, adalah seorang kafir (orang yang bukan beragama nasrani), sedangkan ibunya bernama Monica adalah seorang nasrani. Agustinus belajar pada sekolah rhetor, yang didirikan oleh orang-orang kafir di Kartago, Roma dan Milan. Pada umur 33 tahun dia beralih menjadi pemeluk agama nasrani. Tujuh tahun kemudian ia menjadi uskup di Hippo.
Ajaran Agustinus berupa panduan antara ajaran plato dengan ajaran nasrani. Seperti juga plato, agustinus mencita-citakan manusia berbudi. Iamenyatakan bahwa kebajikan berupa cinta yang mutlak kepada Tuhan akan tetapi plato mengajarkan bahwa kebajikan timbul dalam penguasaan akal terhadap kehendak-kehendak manusia.
Buku-bukunya yang terpenting, yang banyak artinya bagi pendidikan, adalah :
1.      Confessiones (pengakuan)
Confessiones memuat riwayat hidupnya sampai tahun 400. Tertera di dalamnya pengetahuan tentang jiwa, diantaranya uraian tentang daya ingatan, dan tentang ilmu mendidik. Dengan buku ini ia telah meletakan dasar bagi ilmu jiwa anak.
2.      Catechizandis rudibus (tentang pengajaran agama kepada yang belum memahaminya).
Dalam Catechizandis rudibus ia memberikan uraian selayang pandang mengenai ilmu jiwa pendidikan. Agustinus menganjurkan agar dalam mengajar terdapat kegembiraan, pilihan bahan yang baik, dan cinta terhadap anak, yang timbul dari cinta terhadap tuhan.
 kemudian Dante Alighieri (1265-1321) berpendapat kedua-dua kuasa itu hendaklah masing-masing berdiri sendiri,dan mestilah bekerjasama untuk mewujudkan kebajikan bagi manusia. Dalam paradigma abad pertengahan, dua wilayah agama dan dunia terpisah total satu dengan yang lain sehingga tidak ada peluang bagi ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar keduanya. Seorang manusia kalau tidak „melangit‟ haruslah„membumi‟, atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan secara total dengan Tuhan dan roh-rohkudus, dan jika dia menghargai jasmani dan urusan materinya maka dia bukan lagiseorang rohaniwan dan berarti telah memutuskan hubungan dengan Tuhan. Kata Augustine “siapapun yang mahir dalam kesenian, perang, dan filsafat adalah orang yang bejat dan sesat, karena dia berasal dari kota setan dimana kebahagiaannya tak lebih dari sekadar topeng yang menipu, dan keindahannya hanya merupakan wajah alam kubur”.Kota inilah yang tidak diterima oleh Tuhan dan fitrah manusia. Karena orang yangsombong dan angkuh adalah merupakan kepekatan hari dan orang yang memilikipengetahuan tentang segala yang harus diketahui oleh orang-orang terpuji. Dan ketikamelihat kota setan ini tenggelam ke dalam kesesatan dan kesombongannya, maka semuasudut kegelapannya akan terlihat.
Konsep diatas, dipertegas oleh Fritjof Capra yakni : “Para ilmuwan pada Abat Pertengahan, yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena,menganggap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh manusia, danetika, sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tinggi, jadi ilmu didasarkan atas penalaran keimanan”.
Dengan demikian, kerangka berpikir yang dominan pada abad pertengahan dan tekanan kuat para elit gereja yang menganggap dirinya pengawas tatanan yang menguasai duniadan telah menginterogasi ideologi para ilmuan dan menyeret mereka ke pengadilan serta menganggap kegiatan ilmiah sebagai campur tangan setan, kemudian faktor-faktor lain yang berada di luar pembahasan ini telah menjadi latar belakang munculnya Renaisansyang telah melahirkan teriakan protes terhadap kondisi yang dominan pada abadpertengahan.
Beberapa bapa gereja tersebut adalah Uskup Eusebius, St Ambrosius, St Jeremius danSt Agustinus. Karya Eusebius yang paling terkenal adalah sejarah gereja yang menjadiacuan bagi karya-karya sejarah perkembangannya gereja oleh generasi selanjutnya. StAmbrosius yang dikenal sebagai Uskup Milan memperkenalkan hymne liturgi ke gereja.St Jeremies menciptakan karya yang sangat penting bagi gereja. Karya tersebut adalahterjemahan kitab perjanjian lama dan baru ke bahasa Latin. St Agustinus adalah penulisdan pemikir terbesar di kalangan gereja Kristen di Eropa. Karya tersebut diantarannyaadalah Confessions(pengakuan-pengakuan), De Civitas dei, atau the city of God (kotaTuhan). Dengan perkembangan itulah agama Kristen berkembang dengan pesat didataran Eropa.
Sekolah-sekolah pertama yang didirikan :
1.      Sekolah Catechumeen (pendengar), mula-mula untuk orang dewasa yang menjadi pemeluk nasrani. Kelak, juga untuk anak-anak. Sangat berkembang pada abad ke 3.
2.      Sekolah episcopal, untuk pembinaan paderi.
Anak-anak yang cakap mendapat dididkan di tempat kediaman uskup-uskup. Disamping theology diajarkan ilmu pengetahuan keduniawiyahan.
3.      Sekolah catecheet (theoloog)
Ada beberapa fungsi sekolah ini, antara lain:
a.       Tempat mendidik theology
b.      Untuk memperluas pengetahuan. Disana diajarkan susastraan yunani, sejarah, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu bintang, dialectica.
4.      Sekolah-sekolah kafir
Pada masa permulaan, disamping ketiga sekolah tersebut di atas, ada sekolah yang dinamakan sekolah-sekolah kafir. Karena sekolah-sekolah nasrani masih sedikit sekali, banyak dari orang-orang nasrani yang terpaksa masuk sekolah ini. Yang diajarkan di sekolah-sekolah rhetor di roma, disamping 7 seni bebas, juga pengetahuan hukum dan filsafat.

PENGAMBILALIHAN SEKITAR DAERAH BOGOR DARI PIHAK SEKUTU KEPADA PIHAK BELANDA (22 OKTOBER 1946)


Revolusi yang menyentuh hidup manusia antara lain adalah bidang sosial. Revolusi 1945 di Indonesia adalah di bidang social, politik, militer dan hukum. Revolusi tersebut adalah periode rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan dari ancaman pihak asing dan anteknya, dalam hal ini adalah Jepang yang masih memiliki kekuasaan sambil menunggu kehadiran Sekutu, serta Barat –dengan kedok sebagai anggota Sekutu– yang ingin memulihkan kekuasaan kolonialnya yang sempat terlepas akibat serbuan Jepang dalam Perang Dunia ke-2.
Orang cenderung menilai Revolusi 1945 adalah satu-satunya revolusi di Indonesia, ini terbukti jika orang umumnya menyebut revolusi Indonesia maka yang dimaksud adalah Revolusi 1945. Padahal Indonesia telah mengalami revolusi baik sebelum maupun sesudah 1945. Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau dan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa pada pra 1945 layak disebut revolusi, demikian pula kudeta tahun 1965 yang menjatuhkan rezim Soekarno dan reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto pada pasca 1945 juga layak dinilai demikian.
Revolusi 1945 mencakup empat periode. Periode pertama (17 Agustus 1945 – 28 September 1945), gerakan kemerdekaan Indonesia –lazim disebut Republik– terlibat konflik dengan Jepang yang telah menyerah kepada Sekutu namun diperintah untuk menjaga status quo hingga pasukan Sekutu tiba.
Periode kedua (29 September – 30 November 1946), Republik masih terlibat konflik dengan Jepang sekaligus dengan Sekutu yang terdiri dari Persemakmuran Inggris (Inggris, India, Gurkha dan Australia) serta Netherlands Indies Civil Administration yang terdiri dari Koninklijke Leger (pasukan dari orang Barat asli) dan Koninklijke Nederland Indische Leger (pasukan dari orang Barat, Indo dan pribumi) berikut para anteknya.
Periode ketiga (1 Desember 1946 – 27 Desember 1949), Republik terlibat konflik dengan NICA. Periode ini mencakup Agresi Militer ke-1 (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947) dan Agresi Militer ke-2 (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949).
Periode keempat (28 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), Republik terlibat konflik dengan KNIL dan para antek kolonial lainnya sekaligus memperluas dan memantapkan pengaruhnya ke seantero bekas Hindia Belanda ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada saat Inggris pertama kali mendaratkan pasukannya di Indonesia terutama di daerah Bogor, Bandung dan semarang antara lain pada tanggal 15, 18, dan 20 oktober 1946. Menurut Laksamana Petterson, komandan garis belakang skuadron tempur kelima Inggris, mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu dating untuk melindungi rayat dan untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang berfungsi kembali”. Katanya, hukum belanda harus diterapkan dan ditingkatkan oleh para pejabat oleh para pejabat pemerintah Belanda di Jawa yang hanya akan tunduk kepada perintah yang diberiakn oleh Laksaman Mountbatten. Pada hari yang sama, Letnan Jendral Sir Philip Christison, panglima sekutu untuk Hindia Belanda, mengumumkan bahwa pasukan-pasukan Jepang di Jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (Kahin, 180:1995).
Kedatangan pasukan-pasukan Serikat itu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Serikat/Inggris itu datang membawa orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dengan terang-terangan hendak menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda, sikap pihak Indonesia berubah menjadi minimal curiga, maksimal bermusuhan. Situasi keamanan dengan cepat merosot menjadi buruk sekali, sejak NICA mempersenjatai kembali orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain kemudian memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi-provokasi bersenjata. Agaknya Christison telah memperhitungkan bahwa usaha pasukan-pasukan Serikat tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Karenanya Christison berunding dengan pemerintah RI dan mengakui defacto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Dan sejak adanya pengakuan de facto terhadap pemerintah RI dari Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan Serikat ke wilayah RI diterima dengan terbuka oleh pejabat-pejabat RI, karena menghormati tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pasukan-pasukan Serikat. Pengakuan ini diperkuat dengan penegasan Christison, bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketatanegaraan Indonesia.
Namun kenyataannya adalah lain : di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Serikat lalu terjadi insiden-insiden bahkan pertempuran-pertempuaran dengan pihak RI. Hal itu disebabkan karena pasukan-pasukan Serikat/Inggris itu tidak menghormati kedaulatan Republik Indonesia, dan tidak menghargai pemimpin-pemimpinya, baik di pusat maupun di daerah. Seperti yang terjadi di kota Bogor ini terjadi beberapa kali pertempuran diantaranya adalah pertempuran kapten muslihat, kemudian di Jakarta, beberapa orang anggota Pimpinan Nasional kita diteror bahkan meningkat sampai kepada percobaan pembunuhan. Di Surabaya, Magelang, Ambarawa, Semarang, Medan pecah pertempuaran-pertempuran antara pasukan-pasukan Serikat dengan pemuda-pemuda Indonesia.
Sementara itu perlawanan rakyat terhadap pasukan Serikat meningkat sampai akhir tahun 1945. Pihak Serikat yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan dan ketertiban, terutama di Jawa Barat. Daerah itu dianggap sebagai tempat merajalelanya terorisme. Sudah barang tentu anggapan itu mendapat sambutan hangat dari Panglima Angkatan Perang Belanda Laksamana Helfrich. Ia memrintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Jenderal Christison melaksanakan tugas di Jawa Barat.
Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak tuduhan tersebut, dengan sekali lagi memperingatkan pasukan Serikat akan tugas-tugas mereka yang sesungguhnya dan bahwa mereka tidak berhak mencampuri persoalan politik. Persoalan politik adalah semata-mata urusan pihak Indonesia dan Belanda. Tugas yang dihadapi oleh pasukan Indonesia dan Serikat adalah sama yakni menegakkan keamanan dan ketertiban. Tidak amannya dan tidak tertibnya keadaan, disebabkan karena teror yang dilakukan oleh pihak gerombolan NICA. Dan perbuatan itulah yang ditentang oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan pihak Belanda ke Bogor seperti dalam arsip diatas merupakan ancaman lama yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh semua warga Bogor khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Setelah kedatangan Belanda ke daerah Bogor dan sekitarnya sangat mencekam dan masyarakat dihimbau untuk di tidak keluar rumah pada saat jam 8 malam sampai jam 6 pagi karena dikhawatirkan menjadi korban kesalahpahaman yang dilakukan oleh Belanda, karena saat itu Belanda menganggap dan mewaspadai adanya perlawanan dari masyarakat Bogor pada malam hari. Selebaran-selebaran mengenai pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda disampaikan oleh beberapa orang yang oleh masyarakat Bogor disebut sebagai intel. Para intel ini terdiri dari beberapa orang atau pekerja pemerintah yang masih setia dan menginginkan untuk mempertahankan kemerdekaan, orang-orang tersebut adalah orang-orang yang bekerja sebagai pengirim telegram, tukang pengantar surat, orang-orang yang sering berhubungan dengan para pedagang atau bias dikatakan orang yang sering bertransaksi di pasar, bahkan anak-anak sekolah pun dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang disebut intel tersebut untuk menyebarkan segala bentuk informasi ataupun propaganda bagi kelangsungan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Masyarakat Bogor tidak tinggal diam dengan kondisi saat itu, dengan bantuan dari beberapa intel yang menyebarkan beberapa informasi mengenai perkembangan Belanda di daerah Bogor dan sekitarnya menyebabkan bertambahnya semangat dikalangan TKR/TRI maupun masyarakat Bogor sendiri. Waktu itu, secara militer terbagi dua, yaitu masuk Divisi I Banten-Bogor dengan Kolonel Kiai Haji Syam’un sebagai panglimanya, dan Divisi III Priangan-Bogor dengan Kolonel Arudji Kartawinata/A.H. Nasution sebagai panglimanya. Dalam perkembangannya, wilayah tanggung jawab Divisi I hanya mencakup Keresidenen Banten saja, karena oleh KSU TKR dibentuk sementara Divisi XI di bawah pimpinan Kolonel Abdul Kadir yang bertanggung jawab atas daerah (kabupaten) Bogor. Di bawah divisi ini terbentuk Resimen 2 di bawah pimpinan Husein Sastranegara. Baik pembentuk divisi maupun resimen yang nota bene dibentuk lebih dahulu, bahkan juga sudah mempunyai nomor urut, dapat dikatakan berjalan demikian mudah, tanpa gejolak.
Adapun batalyon yang ada di Bogor waktu itu adalah: Batalyon I di bawah pimpinan Mayor Ibrahim Adjie yang bertanggung jawab atas daerah Depok, Bojong Gede dan sekitarnya. Batalyon II di bawah pimpinan Mayor Toha yang bertanggung jawab atas daerah Cijeruk sampai ke sekitar kota Bogor. Batalyon III di bawah pimpinan Mayor Haji Dasuki Bakri yang bertanggung jawab atas daerah Ciampea dan Leuwiliang. Batalyon IV di bawah pimpinan Mayor Abing Sarbini yang bertanggung jawan atas daerah Cileungsi, Citeureup sampai Cibarusah.
Di wilayah kabupaten Bogor sendiri, reorganisasi/strukturisasi tentara ini membuat komando militer menjadi semakin baik, dan koordinasi baik sesame TKR/TRI maupun dengan badan-badan perjuangan semakin baik pula. Hal ini antara lain tercermin dalam kerjasama menumpas gerakan Ki Narija-The Mamat di Leuwiliang dan Dramaga. Demikian pula dalam menghadapi kekuatan Inggris dan Belanda-NICA. Sebagai catatan, sejak bulan Januari 1946 Markas Resimen Bogor/Divisi II berada di Dramaga, karena waktu itu kota Bogor telah dikuasai oleh Inggris, walaupun pemerintahan sipilnya masih tetap berkedudukan di kota Bogor. Bahkan seperti diuraikan oleh Kawilarang, “di Bogor ganjil sekali”. Sewaktu TKR dengan tentara Sekutu main kucing-kucingan dan saling tembak, saling mencegat; sementara itu pemerintah setempat (Bogor) dan polisi mengadakan rapat dengan Inggris mengenai keamanan setempat, dan sebagian besar natulen hasil rapat itu sampai juga ke tangan TKR.
Bahkan menurut Kawilarang, pada suatu waktu Residen Bogor Barnas Wiratuningrat mengadakan makan malam bersama Walikota Odang dengan mengundang komandan brigade Inggris dan stafnya. Dari pihak TKR juga hadir Kolonel Abdul Kadir, Letkol Hidayat Sukarmadijaya, Kapten Yusuf Hardjadiparta dan Kawilarang sendiri. Semakin terkordinasinya hubungan pemerintah, TKR dan polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya semakin baik. Kondisi itu secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak menentu.
Bukti-bukti tersebut menjadi terasa mengganjal karena pada masa ini harusnya residen Bogor bersikap lunak dengan pergerakan yang dilakukan oleh sekutu maupun Belanda dengan tentara NICAnya yang membuat kondisi Bogor dan sekitarnya itu menjadi mencekam. Dalam arsip diatas pula dihimbau bahwa masyarakat Bogor hanya tetap tenang bukan untuk bersiap merencanakan perlawanan kepada tentara Belanda yang pada saat itu baru datang ke wilayah Bogor dan sekitarnya. Himbauan seperti itu seakan-akan pihak residen Bogor menerima dengan terbuka kedatangan Belanda dan akhirnya wilayah Bogor dan sekitarnya mengalami status quo.
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor.
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keesokan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Seluruh harta bendanya habis dijarah.
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang pada tahun 1946. Merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu.
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta.
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat seperti: di Depok , Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur, Cileung, Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan. Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk.
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR melawan lasykar. Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan ke negeri asalnya.
Peristiwa di atas berkaitan dengan suatu organisasi yang pro terhadap Belanda dan mereka menamankan diri sebagai partai rakyat pasundan, dan hal ini memebuat geram masyarakat Bogor pada saat itu. Salah satu organisasi yang sangat keras menolak terhadap beberapa tindakan yang dilakukan oleh partai rakyat pasundan adalah pusat organisasi rakyat Bogor.
Pada hari sabtu, tanggal 24 mei 1947, pusat organisasi rakyat Bogor atas nama seluruh organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya telah mengambil keputusan sebagai tercantum di dalam resolusi di bawah ini:
Mengingat :
1.      Penggembar-gemboran bahwa partai rakyat pasundan (P.R.P) bertindak atas nama rakyat pasundan
2.      Penyerobotan alat-alat pemerintahan republic Indonesia di Bogor
3.      Penyulikan-penyulikan oleh gerombolan-gerombolan orang yang bertindak atas nama partai rakyat Pasundan.
Menimbang bahwa :
1.      Kami rakyat Bogor tidak mengakui sama sekali adanya pemerintahan Negara Pasundan yang bekerja sabagai perisai Belanda.
2.      Pengambilan alat-alat pemerintahan Republik Indonesia adalah penyerobotan semata-mata.
3.      Kami masyarakat di daerah Bogor hanya mengakui pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang ada.
Memutuskan:
1.      Mendesak pengambil status quo Bogor sekurang-kurangnya seperti pada waktu pergantian tentara pendudukan Inggris oleh tentara Belanda.
2.      Mencurahkan kepercayaan penuh atas kebijaksanaan pemerintah-pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjelaskan soal Bogor ini secepat-cepatnya.
3.      Kami rakyat Bogor dengan sekeras-kerasnya menolak segala tindakan partai rakyat pasundan.
Bogor keluar dari status quo karena bantuan dari bupati atau patih baru yang bernama Ipik Gandamanah. Bupati ini disebut sebagai bupati pertama Bogor yang benar-benar mempertahankan dan membela wilayah dan keutuhan Bogor dari sekutu maupun pihak Belanda.
Ipik Gandamanah, atau orang Sunda memanggilnya dengan sebutan Bupati Ipik Gandamanah, lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada 30 nopember 1906. Meski taah kelahirannya di kabupaten Purwakarta, namun beliau menjalani masa kecil hingga dewasa di Banten. Ipik menempuh pendidikan mulai dari ELS, MULO, OSVIA A dan B setelah menyelesaikan studiya aktif di lingkunga kepamongprajaan. Perjalaan karirnya dimulai saat dia menjadi Cadidat Ambtenar (CA) di zaman Jepang serta di tempatkan di Bogor selama kurang lebih 2 tahun, kemudian diagkat mejadi mantri polisi Cikijing, serta ditahun 1938 Ipik diangkat menjadi sekretariat II Kabupaten Ciamis, kaudian pada tahun 1942 enjadi caat Cibereum Tasikmalaya.
Ipik Gandamanah diangkat menjadi patih Bogor pada tahun 1946, yang sebelumnya terjadi peristiwa Bandung lautan api yang menyebabkan keluarga Ipik Gandamanah beserta stafnya mengungsi ketempat yang lebih aman dan tetap melaksanakan tugas pemerintahannya berjalan sambil berpindah-pindah tempat dan pada tahun 1946 menjadi patih Bogor. Saat itu wilayah Bogor dala kondisi yang mencekam seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa tentara Belanda telah menyebar di Bogor teramasuk mata-matanya dan menyebarkan politik adu domba (de vide et impera). Dan seperti yang sudah dijelaskan di atas, Belanda membentuk Partai Rakyat Pasundan yang dimimpin oleh Mr.Kustomo yang berpihak kepada Belanda dan bagi para pejabat pemerintahan Republik Indonesia termasuk Presiden dan Bupati yang tidak mau bergabung dengan Belanda ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan militer dan sebagaian besar dibuang ke Jogyakarta.
Beberapa kali Ipik Gandamanah dibujuk untuk bergabung dengan Belanda, dengan berbagai macam cara termasuk iming-iming jabatan yang lebih tinggi, namun beliau menolak dan tetap membela pemerintahan republik Indonesia dan akhirnya beliau dimasukan ke penjara. Dan setelah beberapa lama keluarlah besluit dari presiden HTB Bogor tanggal 14 agustus 1947 nomor 305 yang memerintahkan Ipik Gandamanah dibuang kepengasingan di hutan dengan beberapa pejabatnya ke wilayah Jasinga.
Saat dalam pengasingan, Ipik Gandamanah menerima tugas dari pemerintah RI untuk menyusun pemerintahan Kabupaten Bogor darurat yang pusatnya di wilayah Jasinga dan beliau ditetapkan menjadi bupati Bogor, kemudain diangkat lagi oleh wakil gubernur jawa bara untuk merangkap menjadi bupati Lebak.
Setelah pembentukan pemerintah kabupaten Bogor darurat sesuai perintah pimpinan pemerintah rapublik Indonesia., dalam kondisi clash dua, pemerintah darurat kabupaten Bogor di Jasinga selalu mendapat teror dan diserang oleh tentara Belanda sehingga Ipik Gandamanah beserta keluarga dan jajaran pembantunya berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan tentara Belanda, mulai di cipanas kabupaten Lebak dan akhirnya ke desa Malasari kecamatan Leuwiliang (sekarang kecamatan Nanggung). Di desa Malasari inilah pelaksanaan tugas pemerintah kabupaten Bogor berjalan cukup lama, selama beberapa bulan sampai adanya genjatan senjata antara pasuka TNI/pejuang dengan pasukan Belanda. Setelah genjatan senjata, berdasarkan pada keputusan Gubernur Milite Jawa Barat, Ipik Gandamanah diperbantukan di KMD IV /DJ.B selaku kepala staff sipil Kepresidenan Bogor yang selanjutnya ditetapkan menjadi Presiden Bogor.
Perjalanan panjang Ipik Gandamanah dalam mengemban amanah, selain berkaitan dengan penyusunan pemerintah darurat Kabupaten Bogor. Pengabdian dan perjuangan beliau dalam mengemban amanah tidak berhenti, walaupun harus menghuni sel di penjara Paledang, karena tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Informasi dan pesan rahasia yang beliau sampaikan kepada para pejuang dan kaum republik di wilayah Bogor melalui kurirnya yaitu Hj.Nani Karmawan ditangkap Belanda dan diintrogasi dengan berbagai tekanan dan siksaan. Ipik Gandamanah  beserta keluarga yang tinggal di lokasi pemerintah darurat Kabupaten Bogor yang terakhir di kampung /desa Malasari Kecamatan Leuwiliang (Nanggung sekarang). Yang berada di sekitar kaki Gunung Halimun  melaksanakan tugas pemerintahan Kabupaten Bogor yang berjalan selama beberapa bulan, sampai terjadinya genjatan senjata antara pasukan tentara Republik Indonesia dengan tentara Belanda. Kehidupan beliau di Desa Malasari sangat membutuhkan bantuan dari penduduk Desa Malasari, tidak sedikit bantuan yang diberikan kepada Bapak Ipik Gandamanah baik materi maupun dukungan moral. Kedekatan dan keakraban beliau dengan penduduk sekitar Desa Malasari membuat masyarakat Desa Malasari tetap setia  berjuang dan mengamankan “pendopo“ Bupati Ipik Gandamanah sebagai tempat melaksanakan pemerintahan darurat Bogor.